UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1990
TENTANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa sumber daya alam hayati
Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan
penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena
itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan
seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat
manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan;
- bahwa pembangunan sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral
dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan
Pancasila;
- bahwa unsur-unsur sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara
satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan
kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem;
- bahwa untuk menjaga agar
pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara
sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu
mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri;
- bahwa peraturan
perundang-undangan yang ada dan masih berlaku merupakan produk hukum
warisan pemerintah kolonial yang bersifat parsial, sehingga perlu
dicabut karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan
kepentingan nasional;
- bahwa peraturan
perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum menampung dan
mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya;
- bahwa sehubungan dengan
hal-hal di atas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam suatu
undang-undang.
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun
1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
- Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3215);
- Undang-undang Nomor 20 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);
- Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299).
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
BAB I
KETENTUAN UMUMPasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:
- Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri
dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa)
yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
- Konservasi sumber daya alam
hayati adalah pengelolaan sumber daya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya.
- Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik
antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung
dan pengaruh mempengaruhi.
- Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup
di darat maupun di air.
- Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat,
dan atau di air, dan atau di udara.
- Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian jenisnya.
- Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air,
dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup
bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
- Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan
berkembang secara alami.
- Kawasan suaka alam adalah
kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang
juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
- Cagar alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai
kekhasan tunbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang
perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
- Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas
berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan
hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
- Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli,
ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang
keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan
penelitian dan pendidikan.
- Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu,
baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
- Taman nasional adalah
kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem
asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.
- Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi
tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan
asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
- Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Pasal 2
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan
pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya secara serasi dan seimbang.
Pasal 3
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Pasal 4
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.
Pasal 5
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
BAB II
PERLINDUNGAN SISTEM PENYANGGA KEHIDUPAN
Pasal 6
Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai
unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan
makhluk.
Pasal 7
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya
proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Pasal 8
(1) Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah menetapkan:
a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah pelindungan sistem penyangga kehidupan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan
dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan
fungsi perlindungan wilayah tersebut.
(2) Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan,
Pemerintah mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap
penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang
terletak dalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 8.
(3) Tindakan penertiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan secara alami
dan atau oleh karena pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya
diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan berkesinambungan.
BAB III
PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA BESERTA EKOSISTEMNYA
Pasal 11
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan
melalui kegiatan:
a. pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
b. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
Pasal 12
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,
dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam
keadaan asli.
Pasal 13
(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam.
(2) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan suaka alam
dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan dan satwa
tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya.
(3) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan suaka alam
dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa
untuk menghindari bahaya kepunahan.
BAB IV
KAWASAN SUAKA ALAM
Pasal 14
Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terdiri dari:
a. cagar alam;
b. suaka margasatwa.
Pasal 15
Kawasan suaka alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga
berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 16
(1) Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah
sebagai upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penetapan dan
pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka alam dan penetapan
wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1) Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan
penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan
lainnya yang menunjang budidaya.
(2) Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan,
wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Dalam rangka kerjasama konservasi internasional, khususnya dalam
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kawasan suaka alam dan
kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan sebagai cagar biosfer.
(2) Penetapan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya
sebagai cagar biosfer diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk
kegiatan pembinaan habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka
margasatwa.
(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan
luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain
yang tidak asli.
BAB V
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
Pasal 20
(1) Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:
a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) digolongkan dalam:
a. tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
b. tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Setiap orang dilarang untuk :
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau
bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan
hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
(2) Setiap orang dilarang untuk :
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa
yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian
lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian
tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat
lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki
telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.
Pasal 22
(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan
atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.
(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak
lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.
(3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa
yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab
satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemasukan tumbuhan dan satwa
liar dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, tumbuhan dan satwa tersebut dirampas untuk negara.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya
yang dirampas untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan
kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan
satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk
dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.
Pasal 25
(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat
dilakukan dalam bentuk pemeliharaan atau pengembangbiakan oleh
lembaga-lembaga yang dibentuk untuk itu.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMANFAATAN SECARA LESTARI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Pasal 26
Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan
melalui kegiatan:
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Pasal 27
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan.
Pasal 28
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan
kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa liar.
BAB VII
KAWASAN PELESTARIAN ALAM
Pasal 29
(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 13 terdiri dari:
a. taman nasional;
b. taman hutan raya;
c. taman wisata alam.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah sebagai
kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya
sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
30
Kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal
31
(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.
Pasal
32
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona
inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan.
Pasal
33
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan
luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa
lain yang tidak asli.
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan
fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan
raya, dan taman wisata alam.
Pasal
34
(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan
taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan
rencana pengelolaan.
(3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat
memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman
hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
35
Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk mempertahankan atau
memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya,
Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagian atau
seluruhnya untuk selama waktu tertentu.
BAB VIII
PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Pasal 36
(1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan
dalam bentuk:
a. pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b. penangkaran;
c. perburuan;
d. perdagangan;
e. peragaan;
f. pertukaran;
g. budidaya tanaman obat-obatan;
h. pemeliharaan untuk kesenangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PERAN SERTA RAKYAT
Pasal 37
(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai
kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui
pendidikan dan penyuluhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 38
(1) Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang
tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 39
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(2) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksanaan atas laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
b. melakukan pemeriksaaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka
alam dan kawasan pelestarian alam;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
f. membuat dan menandatangani berita acara;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang
adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penuntut
Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 40
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (4) adalah pelanggaran.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Hutan suaka alam dan taman wisata yang telah ditunjuk dan ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya
Undang-undang ini dianggap telah ditetapkan sebagai kawasan suaka alam
dan taman wisata alam berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 42
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang
konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya yang telah ada sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, tetap berlaku sampai
dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan undang-undang
ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
- Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie 1931 Staatsblad
1931 Nummer 133);
- Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 134);
- Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtoddonnantie Java en Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer 733);
- Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie 1941
Staatsblad 1941 Nummer 167);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 44
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Konservasi Hayati.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 1990
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1990 NOMOR 49
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan
ttd
Bambang Kesowo, S.H.,LL.M.